Jumat, 26 Oktober 2012

Kebakaran Hutan Sebagai Hasil dari Kegagalan Pemerintah Indonesia

Indonesia terbakar lagi. Asap dari api yang dinyalakan untuk membuka lahan di Kalimantan Selatan (Borneo) dan Sumatera menyebabkan tingkat polusi di Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok meningkat, menyebabkan munculnya masalah kesehatan yang berkaitan dengan asap, kecelakaan lalu lintas, dan biaya ekonomi yang menyertainya. Negara-negara tetangga pun kembali menuntut adanya tindakan namun pada akhirnya tetap saja kebakaran akan berlangsung hingga datangnya musim hujan.

Kebakaran ini  dan asap yang mencekik  telah menjadi peristiwa tahunan di Indonesia. Beberapa tahun lebih buruk dari tahun-tahun yang lain  terutama saat kondisi el Nino yang kering mengubah hutan kawasan ini menjadi sangat mudah terbakar  tapi keseluruhan trend ini tidaklah baik. Kenapa bencana kebakaran ini terus saja terjadi?
Kesalahan seharusnya ditimpakan pertama kali pada pemerintah Indonesia atas kegagalan sistematis untuk menggalakkan hukum yang didesain untuk mengurangi tingkat penggundulan hutan yang mengejutkan di negara ini. Sejak 1990, angka-angka resmi telah menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan seperempat dari keseluruhan luas hutannya. Berkurangnya hutan-hutan primer itu menjadi lebih buruk: hampir 31 persen dari hutan tua kepulauan ini telah jatuh ke tangan penambang dan pengembang lahan pada periode yang sama. Bahkan, tingkat penggundulan hutan ini tidak melambat. Berkurangnya hutan dalam satu tahun telah meningkat hingga 19 persen sejak akhir 1990-an, sementara setiap tahunnya berkurangnya hutan primer telah meluas hingga 26 persen. Statistik ini seharusnya menjadi sesuatu yang memalukan bagi Indonesia dan bukti ketidakmampuan pemerintah mengatasi berkurangnya hutan dan ketidakmampuan dalam menanggulangi kroni dan korupsi.

Berkurangnya Hutan di Indonesia


Penyebab langsung berkurangnya hutan di Indonesia kebanyakan penggundulan hutan adalah akibat dari penebangan hutan dan pengubahan hutan menjadi pertanian. Saat ini Indonesia menjadi eksportir kayu tropis terbesar di dunia - suatu komoditas yang menghasilkan hingga 5 milyar USD tiap tahunnya - dan produsen minyak kelapa terbesar kedua, salah satu dari minyak sayur paling produktif di dunia, digunakan di apa pun mulai dari biskuit hingga biofuel.
Penebangan kayu secara legal berdampak pada 700.000-850.000 hektar hutan setiap tahunnya di Indonesia, namun penebangan hutan ilegal yang telah menyebar meningkatkan secara drastis keseluruhan daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta hektar, dan mungkin lebih tinggi - di tahun 2004, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan bahwa 75 persen dari penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada larangan resmi untuk mengekspor kayu dari Indonesia, kayu tersebut biasanya diselundupkan ke Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari beberapa perkiraan, Indonesia kehilangan pemasukan sekitar 1 milyar dollar pertahun dari pajak akibat perdagangan gelap ini. Penambangan ilegal ini juga merugikan bisnis kayu yang resmi dengan mengurangi suplai kayu yang bisa diproses, serta menurunkan harga internasional untuk kayu dan produk kayu.
Penebangan hutan di Indonesia telah membuka beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang, di dunia pada pembangunan. Setelah berhasil menebangi banyak hutan di daerah yang tidak terlalu terpencil, perusahaan-perusahaan kayu ini lantas memperluas praktek mereka ke pulau Kalimantan dan Irian Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini banyak petak-petak hutan telah dihabisi. Sebagai contoh, lebih dari 20 persen ijin penebangan di Indonesia berada di Papua, naik dari 7 persen di tahun 1990-an.

Selain penebangan, pengubahan hutan untuk pertanian ukuran besar, terutama perkebunan kelapa sawit, telah menjadi kontributor penting bagi berkurangnya hutan di Indonesia. Kawasan kelapa sawit meluas dari 600.000 hektar di tahun 1985 menjadi lebih dari 5,3 juta hektar di tahun 2004. Pemerintah berharap kondisi ini akan berlipat ganda dalam waktu satu dekade dan, melalui program transmigrasi, telah mendorong para petani untuk mengubah lahan hutan liar menjadi perkebunan. Karena cara termurah dan tercepat untuk membuka lahan perkebunan adalah dengan membakar, upaya ini justru memperburuk kondisi: setiap tahun ratusan dari ribuan hektar are berubah menjadi asap saat pengembang dan agrikulturalis membakar kawasan pedalaman sebelum musim hujan datang di bulan Oktober atau November.

Kegagalan Pemerintah


Walau Indonesia memiliki hukum untuk melindungi hutan dan membatasi pembakaran pertanian, mereka diterapkan dengan sangat buruk. Manajemen hutan di Indonesia telah lama dijangkiti oleh korupsi. Petugas pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan tanpa reputasi baik dan politisi licik, ini berarti larangan penebangan hutan liar yang tak dijalankan, penjualan spesies terancam yang terlupakan, peraturan lingkungan hidup yang tak dipedulikan, taman nasional yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan hukuman penjara yang tak pernah ditimpakan. Korupsi, dikombinasikan dengan kroniism yang muncul pada masa mantan Presiden Jendral Soeharto (Suharto), telah beberapa kali merusak upaya mengendalikan kebakaran hutan: 1997, negara ini tak dapat menggunakan dana spesial reboisasi non-bujeter mereka untuk melawan kebakaran karena dana tersebut telah dialokasikan untuk proyek mobil yang gagal milik anak diktator tersebut. Saat ini pemerintah masih menolak untuk menghukum mereka yang melanggar hukum yang melarang menggunakan api untuk membuka lahan.
Ini waktunya bagi pemerintah Indonesia untuk mulai serius menangani penggundulan hutan dan kebakaran yang kerap terulang. Komitmen politis adalah kuncinya - tanpanya, sumbangan-sumbangan uang dalam jumlah besar akan terus dihamburkan tanpa menghentikan penebangan hutan ilegal dan berkurangnya hutan.


Sebagai contoh Indonesia perlu untuk menindaklanjuti permintaan Malaysia untuk menuntut perusahaan-perusahaan Malaysia yang terlibat dalam pembakaran hutan di Kalimantan Selatan dan Sumatera. Perusahaan yang terbukti bertanggungjawab atas pembakaran illegal, tak peduli dimana mereka berada akan kehilangan ijin usahanya dan petugas-petugasnya di penjara.

Saat kebakaran berkurang musim dingin ini, Indonesia seharusnya menyelidiki kemungkinan yang ditawarkan oleh pasar karbon yang muncul ini yang dapat memberikan pemasukan bagi negara dengan melindungi hutan dari pengembangan. Inovasi strategis lain - dari sertifikasi agrikultural dan kayu yang komprehensif hingga sponsor oleh pihak swasta untuk konservasi hutan seharusnya juga tidak dilupakan.


Kegagalan Internasional
Meski mudah untuk menyalahkan pemerintah Indonesia atas tak adanya tindakan, masyarakat internasional juga telah gagal. Daripada mengkritik Indonesia atas kekurangannya, pemerintah asing seharusnya menjanjikan keahliannya dan memberikan bantuan dalam jumlah besar. Kebakaran hutan Indonesia mempunyai dampak global dengan menghilangkan keanekaragaman hayati dan menyumbangkan gas-gas rumah kaca ke atmosfer (kebakaran tahun 1997 melepaskan sekitar 2,67 milyar ton karbon dioksida). Dalam area tertentu, kebakaran ini meracuni udara dan dikaitkan dengan berkurangnya hujan. Dalam kasus dimana masalah Indonesia adalah masalah dunia, masyarakat global seharusnya meningkatkan kesempatan untuk menujukan bencana kebakaran ini dengan sikap yang pintar dan terkoordinasi dengan baik.

Dikutip dari : http://world.mongabay.com/indonesian/pemerintah.html





Kerangka Karangan dari Artikel diatas :

1.  Berkurangnya Hutan di Indonesia :
1.1   Penyebab Berkurangnya Hutan di Indonesia :
        1.1.1 Penebangan hutan
        1.1.2 Pengubahan hutan menjadi lahan pertanian
2. Kegagalan Pemerintah Indonesia
     2.1 Manajemen Pengelolaan Hutan di Indonesia yang Buruk
         2.1.1 Lemahnya Hukum di Indonesia 
         2.1.2 Perlunya Penanganan yang Serius dalam Menanggulangi Kebakaran Hutan
3. Kegagalan Internasional
    3.1 Dampak Global Kebakaran Hutan di Indonesia
    3.2 Kurangnya Perhatian Masyarakat Dunia terhadap Kebakaran di Indonesia
  

Kamis, 11 Oktober 2012

Badai Matahari dan Semburan Matahari



Badai matahari adalah isu yang meluas akhir-akhir ini. Banyak orang mencemaskannya, bahkan menganggapnya sebagai akhir dunia. Tetapi, apakah badai matahari itu? “Badai matahari” (solar storm) pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan “semburan matahari” (solar flare). Jika kekuatan semburan matahari atau solar flare ini besar, maka akan disebut sebagai badai matahari (solar storm).

Semburan matahari adalah saat dimana ada “titik cerah” atau “ledakan energi” di atas permukaan matahari. Para ahli menyatakan bahwa titik cerah ini ditafsirkan sebagai pelepasan energi yang sangat besar (hingga 6×1025 joule , sekitar 1/6 output total energi matahari per detik). Ledakan ini menyemprotkan awan elektron, ion, dan atom melalui korona ke ruang angkasa. Jika cukup besar, maka awan tersebut akan mencapai bumi dalam satu atau dua hari.

Pada peristiwa ini, ketika media plasma di permukaan matahari ‘terpanggang’ hingga jutaan derajat celcius, media plasma tersebut akan ‘pecah’ dan meluncurkan berbagai partikelnya (elektron, proton, ion) dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Lontaran energi ini bisa menghasilkan radiasi sinar pada seluruh spektrum elektromagnetik, dari gelombang radio biasa, sinar-x, hingga sinar gamma. Jarang sekali lontaran energi yang berbentuk gelombang ini dapat dilihat dengan mata telanjang, di butuhkan berbagai peralatan khusus untuk mengamatinya. Sinar-X dan radiasi UV yang dipancarkan oleh badai matahari ini dapat mencapai ionosfer bumi dan mengganggu komunikasi radio, radar, internet, dan perangkat lain yang beroperasi dengan menggunakan gelombang. Ia tidak menimbulkan ‘badai’ dalam arti yang sesungguhnya (hujan, angin tornado, dan sebagainya).

Solar flare pertama kali diselidiki oleh Richard Christopher Carrington dan independen oleh Richard Hodgson pada tahun 1859. Frekuensi terjadinya badai matahari sangat bervariasi, dari sekali seminggu hingga beberapa kali sehari, mengikuti siklus 11-tahun (siklus matahari).

 

Badai Matahari : Apakah Berbahaya ?

Berbahaya atau tidaknya badai matahari sangat tergantung dari kekuatannya, tetapi yang jelas, ia hanya mengakibatkan berbagai kerusakan atau gangguan pada peralatan berbasis frekuensi saja. Badai matahari yang paling kuat yang pernah diamati terjadi pada tanggal 1 September 1859, dan dilaporkan oleh astronom Inggris Richard Carrington dan Richard Hodgson. Peristiwa ini dinamai “Solar Storm 1859″ atau “peristiwa Carrington”. Badai ini dapat terlihat oleh mata telanjang (dalam cahaya putih), dan menghasilkan aurora yang menakjubkan di daerah tropis seperti Kuba atau Hawaii. Peristiwa ini dilaporkan menyebabkan banyak alat telegraf waktu itu mati. Badai matahari tersebut juga meninggalkan jejak pada es di Greenland dalam bentuk nitrat dan berilium-10.

Di zaman modern, badai matahari besar pernah terjadi pada 4 November 2003, kemudian juga terjadi pada tanggal 2 April 2001 (X20), 28 Oktober 2003 (X17.2 & X10), 7 September 2005 (X17), 17 Februari 2011 (X2), 10 Agustus 2011 (X6.9), serta yang terjadi pada awal tahun 2012 ini.

Yang perlu diwaspadai dari badai matahari pada jaman modern di mana perkembangan iptek sangat maju ini adalah justru karena tidak berfungsi atau rusaknya berbagai sarana komunikasi, terutama yang berada di luar angkasa seperti satelit. Rusaknya alat-alat komunikasi ini tentunya akan mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Jaringan internet dan telepon yang terputus selama beberapa hari dan smartphone yang tidak berfungsi normal, tentunya membuat manusia modern menjadi sulit berhubungan apalagi saling terkoneksi dengan sitis jejaring sosial. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kacaunya dunia bisnis dan komunikasi.

Sumber : http://ilmupengetahuan.org