Selasa, 28 Desember 2010

Perhatian Pemerintah Dalam Mengatasi Permasalahan Serikat Pekerja Pada Saat Ini
Pemerintah meminta kalangan serikat pekerja dan perusahaan untuk segera membuat perjanjian kerja bersama (PKB) karena hal ini akan berpengaruh pada produktivitas perusahaan dan kesejahteraan pekerja. Demikian dikatakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Drs. Muhaimin Iskandar, M. Si seusai menyaksikan penandatangan Perjanjian Kerja Bersama PT LGEIN dan Peninjauan PT ASMO Indonesia di kawasan industri MM 2100, Cibitung, Senin (7/12).
Menakertrans mengatakan minimnya PKB yang disepakati oleh serikat pekerja dan perusahaan, bisa mengakibatkan aspirasi dan pemenuhan hak-hak dasar pekerja kurang terakomodasi. Padahal semestinya perusahaan menyadari keuntungan PKB akan memberi manfaat bagi produktivitas perusahaan yang pada akhirnya akan memberi keuntungan bagi perusahaan. "Jumlah perusahaan yang sudah menandatangani memang masih sedikit, sekitar 2 persen dari sekitar 200 ribu perusahaan yang ada di Indonesia, " kata Menakertrans. Padahal, lanjut Menakertrans, PKB memiliki nilai positif diantaranya adalah membuka dialog dan negosiasi antara pekerja yang diwakili serikat pekerja dan perusahaan yang diwakili manajemen tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam hubungan kerja,” katanya .
Oleh karena itu, pemerintah mendukung dan mendorong perumusan PKB yang merupakan perundingan bipartit antara perusahaan dan pekerja yang dalam hal ini diwakili oleh serikat pekerja. “Pekerja dan pengusaha dapat melakukan negosiasi mengenai hak dan kewajiban mereka dalam bentuk musyawarah. Dalam forum tersebut akan terjadi dialog yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja, serta menguntungkan perusahaan,” tuturnya.
Dia menuturkan bahwa perundingan yang sehat dan efektif harus selalu dilandasi oleh good faith (niat baik), meski hampir tidak ada aturan hukum yang dapat menerangkan secara rinci dan lengkap tentang kriteria niat baik itu. ”Namun, ada atau tidaknya niat baik ini dapat dirasakan oleh pihak yang berunding, bahkan ketiadaan niat baik dari satu proses perundingan dapat pula dirasakan oleh pihak ketiga yang kebetulan mencermati proses pembuatan PKB,” jelasnya.
Menakertrans menambahkan setelah PKB disepakati dengan manajemen perusahaan, maka tugas dari serikat pekerja adalah melakukan sosialisasi dari isi PKB kepada pekerja agar diketahui hak dan kewajibannya selama bekerja.
”Apabila dalam pelaksanaannya terdapat hal-hal yang mungkin menimbulkan perbedaan penafsiran di antara para pihak diharapkan senantiasa dikembalikan kepada naskah PKB yang disepakati dan mengikuti mekanisme yang diatur dalam perjanjian itu,” katanya.

Senin, 27 Desember 2010

27 Desember 2010

SEJARAH KAP
IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang, dimulai dari didirikannya Ikatan Akuntan Indonesia di tahun 1957 yang merupakan perkumpulan akuntan Indonesia yang pertama. Perkembangan profesi dan organisasi Akuntan Publik di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perkembangan perekonomian, dunia usaha dan investasi baik asing maupun domestik, pasar modal serta pengaruh global. Secara garis besar tonggak sejarah perkembangan profesi dan organisasi akuntan publik di Indonesia memang sangat dipengaruhi oleh perubahan perekonomian negara pada khususnya dan perekonomian dunia pada umumnya.
Ikatan Akuntan Indonesia
Di awal masa kemerdekaan Indonesia, warisan dari penjajah Belanda masih dirasakan dengan tidak adanya satupun akuntan yang dimiliki atau dipimpin oleh bangsa Indonesia. Pada masa ini masih mengikuti pola Belanda masih diikuti, dimana akuntan didaftarkan dalam suatu register negara. Di negeri Belanda sendiri ada dua organisasi profesi yaitu Vereniging van Academisch Gevormde Accountans (VAGA ) yaitu ikatan akuntan lulusan perguruan tinggi dan Nederlands Instituut van Accountants (NIvA) yang anggotanya terdiri dari lulusan berbagai program sertifikasi akuntan dan memiliki pengalaman kerja. Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan periode sesudah kemerdekaan tidak dapat menjadi anggota VAGA atau NIvA.
Situasi ini mendorong Prof. R. Soemardjo Tjitrosidojo dan empat lulusan pertama FEUI yaitu Drs. Basuki T.Siddharta, Drs. Hendra Darmawan, Drs. Tan Tong Joe dan Drs. Go Tie Siem memprakarsai berdirinya perkumpulan akuntan Indonesia yang dinamakan Ikatan Akuntan Indonesia yang disingkat IAI pada tanggal 23 Desember 1957 di Aula Universitas Indonesia.
Ikatan Akuntan Indonesia – Seksi Akuntan Publik (IAI-SAP)
Di masa pemerintahan orde baru, terjadi banyak perubahan signifikan dalam perekonomian Indonesia, antara lain seperti terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) serta berdirinya pasar modal. Perubahan perekonomian ini membawa dampak terhadap kebutuhan akan profesi akuntan publik, dimana pada masa itu telah berdiri banyak kantor akuntan Indonesia dan masuknya kantor akuntan asing yang bekerja sama dengan kantor akuntan Indonesia. 30 tahun setelah berdirinya IAI, atas gagasan Drs. Theodorus M. Tuanakotta, pada tanggal 7 April 1977 IAI membentuk Seksi Akuntan Publik sebagai wadah para akuntan publik di Indonesia untuk melaksanakan program-program pengembangan akuntan publik.
Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP)
Dalam kurun waktu 17 tahun sejak dibentuknya Seksi Akuntan Publik, profesi akuntan publik berkembang dengan pesat. Seiring dengan perkembangan pasar modal dan perbankan di Indonesia, diperlukan perubahan standar akuntansi keuangan dan standar profesional akuntan publik yang setara dengan standar internasional. Dalam Kongres IAI ke VII tahun 1994, anggota IAI sepakat untuk memberikan hak otonomi kepada akuntan publik dengan merubah Seksi Akuntan Publik menjadi Kompartemen Akuntan Publik.
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
Setelah hampir 50 tahun sejak berdirinya perkumpulan akuntan Indonesia, tepatnya pada tanggal 24 Mei 2007 berdirilah Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sebagai organisasi akuntan publik yang independen dan mandiri dengan berbadan hukum yang diputuskan melalui Rapat Umum Anggota Luar Biasa IAI – Kompartemen Akuntan Publik.
Berdirinya Institut Akuntan Publik Indonesia adalah respons terhadap dampak globalisasi, dimana Drs. Ahmadi Hadibroto sebagai Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI mengusulkan perluasan keanggotaan IAI selain individu. Hal ini telah diputuskan dalam Kongres IAI X pada tanggal 23 Nopember 2006. Keputusan inilah yang menjadi dasar untuk merubah IAI – Kompartemen Akuntan Publik menjadi asosiasi yang independen yang mampu secara mandiri mengembangkan profesi akuntan publik. IAPI diharapkan dapat memenuhi seluruh persyaratan International Federation of Accountans (IFAC) yang berhubungan dengan profesi dan etika akuntan publik, sekaligus untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh IFAC sebagaimana tercantum dalam Statement of Member Obligation (SMO).
Pada tanggal 4 Juni 2007, secara resmi IAPI diterima sebagai anggota asosiasi yang pertama oleh IAI. Pada tanggal 5 Februari 2008, Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 mengakui IAPI sebagai organisasi profesi akuntan publik yang berwenang melaksanakan ujian sertifikasi akuntan publik, penyusunan dan penerbitan standar profesional dan etika akuntan publik, serta menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan publik di Indonesia.
Ketua
Drs. Theodorus M. Tuanakotta (IAI-SAP, 1977- s.d. 1979)                                                                   Drs. M.P. Sibarani (IAI-SAP, 1979 s.d. 1984)                                                                                      Drs. Ruddy Koesnadi (IAI-SAP/IAI-KAP, 1984 s.d. 1995)                                                                   Drs. Iman Sarwoko (IAI-KAP, 1995 s.d. 1997)                                                                                    Drs. Amir Abadi Jusuf (IAI-KAP, 1997 s.d. 1999)                                                                                Drs. Ahmadi Hadibroto (IAI-KAP, 1999 s.d. 2003)                                                                                 Dra. Tia Adityasih (IAI-KAP, 2003 s.d. 24 Mei 2007)                                                                          Dra. Tia Adityasih (IAPI, 24 Mei 2007 s.d. sekarang)
Company Profile
SEJARAH                                                                                                                     Kantor Akuntan Publik (KAP) Joachim Sulistyo & Rekan didirikan pada tahun 2005 dengan nama KAP Joachim Sulistyo. Pada awal tahun 2006, KAP Joachim Sulistyo berafiliasi dengan The Leading Edge Alliance (LEA) yang berkedudukan di Illinois, Amerika Serikat (USA) dengan jaringan lebih dari 90 negara. Selanjutnya, tahun 2007 menambah keanggotaan partner dan mengubah nama menjadi Kantor Akuntan Publik (KAP) Joachim Sulistyo & Rekan.
VISI                                                                                                                               Menjadi salah satu kantor akuntan yang memberikan jasa profesional dengan integritas dan kualitas tinggi.
MISI
  1. Mengutamakan kualitas dalam setiap penugasan jasa profesional.
  2. Melakukan inovasi, baik dari segi pengetahuan maupun ketrampilan teknis.
  3. Memperluas jaringan kerja melalui aliansi strategis dalam dimensi regional dan internasional.
  4. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dalam setiap pekerjaan sehingga menghasilkan output dengan akurasi tinggi.
  5. Menjalin kemitraan dengan perguruan tinggi melalui program peningkatan kompetensi maupun magang kerja mahasiswa.

FILOSOFI                                                                                                                      Menjunjung tinggi kepercayaan dan integritas. 
MOTO                                                                                                                    Innovation, Quality, Consistency, Excellence
BUDAYA ORGANISASI                                                                                                  Tata nilai yang membentuk budaya kantor disingkat dalam istilah JSA. Nilai-nilai dasar JSA ini menjadi landasan moral bagi segenap pegawai KAP Joachim Sulistyo & Rekan.
JSA dijabarkan sebagai berikut:
  • Jujur
    Sikap terbuka dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan terutama dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan.
  • Sigap
    Memiliki respon yang tinggi dalam menjalankan tugas dengan berpedoman pada nilai-nilai etis dan asas-asas tata kelola yang baik.
  • Ahli
    Memiliki skill dan penguasaan teknis yang tinggi dengan berkomitmen pada kualitas dan inovasi.
PERIZINAN
  • Izin Usaha Kantor Akuntan Publik, Keputusan Menteri Keuangan RI No:110/KM.1/2007 tertanggal 14 Februari 2007.
  • Izin Praktik Akuntan Publik, Keputusan Menteri Keuangan RI No: KEP-227/KM.17/1998 tertanggal 16 Juni 1998.
  • Surat Tanda Terdaftar pada Profesi Penunjang Pasar Modal dari BAPEPAM No: 198/STTD-AP/PM/1996.
  • Surat Tanda Terdaftar sebagai Auditor Bank pada Bank Indonesia No.8/36/DPIP/DtB tertanggal 09 Februari 2006.
  • Surat Akreditasi Kantor Akuntan Publik sebagai Rekanan Bank Mandiri No:RMN.POR/CRE.582/2008 tertanggal 24 Maret 2008.
  • Surat Akreditasi (perpanjangan) Kantor Akuntan Publik sebagai Rekanan Bank BNI No:DRK/5/038 tertanggal 08 Januari 2008.
  • Surat Keterangan sebagai Kantor Akuntan Publik anggota Rekanan Bank BRI No: B./48/-ADK/PJB/07/2008 tertanggal 16 Juli 2008.
  • Surat Persetujuan Pencantuman nama The Leading Edge Alliance (Afiliasi) bersama dengan nama KAP Joachim Sulistyo & Rekan dari Departemen Keuangan RI No: S-234/SJ/2007 tertanggal 5 April 2007.
  • Sertifikat keanggotaan dari The Leading Edge Alliance tertanggal 27 Agustus 2006.     

Jumat, 24 Desember 2010

PENYALAHGUNAAN KOPERASI

Dalam beberapa tahun terakhir Baitul Maal wa Tamwil (BMT) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Informasi yang disampaikan oleh Dewan Pembina Asosiasi BMT se Indonesia (Absindo) Yogyakarta menunjukkan sejak tahun 1995 sampai dengan 2006 telah terbentuk lebih dari 3500 BMT di Indonesia. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri terdapat 89 BMT. Perkembangan BMT yang pesat ini kemungkinan terjadi karena tingginya kebutuhan masyarakat akan jasa intermediasi keuangan, namun di sisi lain akses ke dunia perbankan yang lebih formal relatif sulit. BMT memberikan solusi bagi masyarakat untuk mendapatkan dana dengan mudah dan cepat, terhindar dari jerat rentenir, dan mengacu pada prinsip syariah. Namun demikian terdapat pula BMT yang hanya sebagai kedok penipuan yang perlu diwaspadai masyarakat.

Salah satu kasus yang menarik, Lembaga Ombudsman Swasta Yogyakarta (LOS) telah menerima pengaduan menyangkut BMT. Pengaduan ini bukan dilakukan oleh nasabah, tetapi berasal dari pegawai BMT yang mengalami kesulitan karena pengurusnya (pemilik) telah melarikan diri dengan membawa uang nasabah. BMT ini berhasil menghimpun dana dari kira-kira 20.000 nasabah dengan akumulasi dana kira-kira Rp 12 miliar. Contoh di atas hanya menggambarkan satu pengaduan yang diterima LOS. Investagasi yang dilakukan LOS menemukan fakta setidaknya terdapat 5 BMT yang saat ini bermasalah dan berpotensi merugikan masyarakat.

Masalah kelembagaan dituding sebagai penyebab utama terjadinya berbagai permasalahan di industri BMT ini. Sampai saat ini kelembagaan BMT sebagaimana lembaga-lembaga keuangan mikro lainnya, belum diatur secara jelas. Apabila mengacu pada ketentuan yang berlaku, menghimpun dana dari masyarakat hanya boleh dilakukan oleh Bank. Dengan demikian, organisasi BMT harus tunduk pada Undang-undang Perbankan dan di bawah pengawasan Bank Indonesia. Kebanyakan BMT saat ini justru menyatakan dirinya sebagai koperasi, artinya keberadaan BMT tunduk pada Undang-undang Perkoperasian. Apabila BMT menyatakan dirinya berbentuk koperasi simpan pinjam, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai koperasi, seperti Anggaran Dasar, keanggotaan, dan perangkat organisasi. Pada umumnya semua BMT dengan bentuk koperasi sudah memenuhi persyaratan dalam hal Anggaran Dasar ini, karena hal ini menjadi aspek normatif bagi Dinas Koperasi ketika akan menerbitkan payung hukum.

Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa. Sedang keanggotaan koperasi secara umum didasarkan pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha koperasi. Meskipun demikian dalam koperasi ini dimungkinkan adanya anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan kewajiban ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Dalam beberapa kasus BMT terjadi manipulasi keanggotaan, di mana masyarakat yang membutuhkan dana dicatat dalam buku daftar anggota koperasi namun sebenarnya keanggotaan mereka hanya dalam jangka waktu penggunaan dana itu. Terjadi pula kasus di mana pemilik modal menanamkan modalnya dalam jumlah besar, sehingga mempunyai hak suara yang besar dan menentukan arah kebijakan koperasi secara umum. Ini tentu saja bertentangan dengan jiwa koperasi yang diarahkan pada kesejahteraan berdasarkan keanggotaan, bukan berdasarkan besarnya kepemilikan dana.

BMT dengan bentuk kelembagaan koperasi juga harus memenuhi persyaratan dalam perangkat organisasi yang meliputi Rapat Anggota, Pengawasan, dan Pengurus. Dalam kenyataannya tidak semua BMT yang menyatakan diri sebagai koperasi menyelenggarakan Rapat Anggota secara rutin. Bahkan yang menyelenggarakannya pun tidak mendudukkan Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pada umumnya pemegang kekuasaan tertinggi ada di tangan pengurus atau ada di tangan pemilik modal mayoritas. Kondisi ini berpotensi memunculkan penyalahgunaan dana anggota oleh pengurus, karena lemahnya kontrol dari anggota.

Masalah SDM juga merupakan persoalan mendasar di BMT. Melakukan fungsi intermediasi keuangan menuntut kemampuan sumber daya manusia yang andal. Kegiatan BMT akan melibatkan jumlah anggota/nasabah yang besar dan jumlah akumulasi keuangan yang sangat besar. Karenanya, tata cara pengelolaan BMT harus memasukkan unsur-unsur pengendalian manajemen yang baik. Sulit untuk dibayangkan bagaimana suatu pengendalian dapat berjalan dengan baik apabila BMT hanya dikelola oleh segelintir orang (pemilik) yang perannya sangat dominan.

Selain masalah pengendalian, peran intermediasi keuangan juga menuntut sumber daya manusia yang mampu mengelola aliran dana dengan baik. Apabila dana-dana yang dihimpun dari anggota disalurkan tanpa perhitungan yang baik, ada kemungkinan dana tersebut tidak dapat ditarik kembali oleh BMT (dalam perbankan dikenal dengan istilah kredit macet). Apabila hal ini yang terjadi, maka yang paling dirugikan adalah penyimpan dana. Demikian juga dengan Pengawas BMT (Dewan Pengawas Syariah) yang belum mampu berperan dengan baik. Misalnya terdapat BMT menjanjikan imbalan yang tinggi kepada masyarakat pada awal kontrak. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip syariah yang dilandasi konsep bagi hasil.

Sementara itu bagi BMT yang memilih beroperasi sebagai bank, maka harus mengikuti aturan dalam Undang-undang Perbankan yang saat ini sudah ada. Kenapa tidak banyak BMT yang beroperasi sebagai bank? Karena persyaratan yang berat baik kuantitatif menyangkut permodalan, maupun kualitatif seperti SDM, sistem dan prosedur tata cara pelaporan, dan pengawasan. Mengacu pada Undang-undang perbankan, BMT yang dalam kegiatannya menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dan menyalurkan kredit kepada masyarakat harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, sebagai sebuah bank.

SEBENARNYA keberadaan BMT memang dibutuhkan oleh masyarakat, hanya saja fungsi pengawasan terhadap operasional BMT ini yang belum terumuskan dengan jelas karena ketidakjelasan dasar hukum pendiriannya. Para pelaku BMT telah menyadari kondisi ini. Absindo sebagai asosiasi BMT merumuskan perannya dalam tiga bidang, yaitu standarisasi, bidang advokasi, dan bidang pengawasan. Peran pengawasan ini bertujuan untuk menjaga konsistensi operasional terhadap prinsip organisasi, baik menyangkut aspek syariah, manajemen maupun keuangan. Hanya saja, kembali lagi ke permasalahan dasar hukum BMT dan asosiasinya, masih dipertanyakan, apakah Absindo memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk mengawasi anggotanya. Bagaimana bentuk konkret menyangkut batasan pengawasan yang dilakukan Absindo. Mengacu pada Undang-undang perbankan, Bank Indonesia sebagai pengawas Bank memiliki hak yang sangat luas dalam melakukan pengawasan. Izin pendirian Bank diberikan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat mengeluarkan regulasi yang harus dipatuhi oleh industri perbankan, sehingga memiliki kekuatan hukum dalam pengawasan.

Dari fenomena di atas, tidaklah berlebihan jika Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY mendesakkan kepada pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk terbitnya ketentuan hukum tersendiri yang mengatur kelembagaan, operasionalisasi, dan pengawasan BMT ataupun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) lain yang berbentuk bukan bank. Dengan kelembagaan dan operasionalisasi yang terstandar akan mengeliminasi praktik-praktik merugikan masyarakat oleh LKM pada umumnya dan BMT khususnya. Sebelum keluarnya ketentuan baku yang mengatur BMT, peran asosiasi yang salah satunya melakukan pengawasan perlu ditingkatkan. Adanya BMT yang beroperasi dengan merugikan masyarakat tentu saja akan merusak citra BMT secara keseluruhan. Cita-cita BMT untuk meningkatkan ekonomi masyarakat tentunya akan semakin jauh dari harapan.

Jumat, 10 Desember 2010

PERLUNYA PERANAN PEMERINTAH UNTUK MELINDUNGI PERSAINGAN USAHA
           
Krisis moneter yang melanda beberapa Negara di kawasan Asia (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia) pada tahun 1997 setidaknya menjadi saksi sejarah dan sekaligus memberikan pelajaran sangat berharga bahwa sesungguhnya pengembangan ekonomi bangsa yang berbasis konglomerasi itu rentan terhadap badai krisis moneter. Sementara itu, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi kerakyatan (diantara mereka adalah koperasi), yang sangat berbeda jauh karakteristiknya dengan ekonomi konglomerasi, mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gempuran badai krisis moneter yang melanda Indonesia.
Pada sisi lain, era globalisasi dan perdagangan bebas yang disponsori oleh kekuatan kapitalis membawa konsekuensi logis antara lain semakin ketatnya persaingan usaha diantara pelaku-pelaku ekonomi berskala Internasional. Dalam negara perdagangan bebas tersebut, perusahaan -perusahaan multi nasional yang dikelola dengan mengedepankan prinsip ekonomi yang rasional, misalnya melalui penerapan prinsip efektifitas, efisiensi dan produktifitas akan berhadapan dengan antara lain, koperasi yang dalam banyak hal tidak sebanding kekuatannya. Koperasi di Indonesia berfungsi sebagai badab usaha yang punya azas kekeluargaan dan mengutamakan kesejahteraan anggota, tidak hanya melulu mencari keuntungan saja, pada umumnya bidang usahanya banyak menggunakan kandungan lokal, sehingga dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam negeri dan dapat dijadikan penghasil produk unggulan. 
Banyaknya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang ada di Indonesia dapat memperluas lapangan kerja dan memberikan jasa ekonomis yang luas kepada masyarakat serta berperan dalam proses peningkatan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu dapat meningkatkan APBN Negara.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah salah satu tonggak ekonomi Negara yang harus memperoleh kesempatan, dukungan, payung hokum dan kebebasan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud kepedulian pemerintah kepada kelompok usaha ekonomi rakyat tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dab Badan Usaha Milik Negara.
Oleh karena itu pemerintah wajib untuk mengarahkan, membimbing, melindungi serta menumbuhkan iklim usaha. Sehingga UMKM merasa diperhatikan karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup dan menggantungkan diri dari sektor ini. Meskipun telah memberikan peranan yang besar dalam perekonomian nasional, namun sedikit banyak mengalami kendala dan hambatan. Contohnya saja kendala yang bersifat Internal yaitu dalam segi Produksi, Pemasaran, SDA, SDM, Teknologi dan Modal Usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah telah menerbitkan 34 program dan kebijakan ekonomi lanjutan untuk sektor UMKM. Pada 2008-2009 diantaranya percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM.
Kendala yang bersifat eksternal yang utama adalah  masalah persaingan usaha tidak sehat yang acapkali terjadi dalam dunia usaha. Pada umumnya masyarakat menganggap praktek-praktek persekongkolan dalam tender atau praktek penetapan harga adalah hal yang wajar, mereka tumbuh dan berkembang demikian berlaku wajar di sekitarnya. Jadi tidaklah heran ketika Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diresmikan pemerintah Repubik Indonesia, terdapat resistensi di tengah masyarakat untuk menerima substansi untuk menerima Undang-Undang tersebut sebagai hal yang memang wajar dan sepatutnya dilaksanakan. Sehingga pemerintah membentuk sebuah lembaga yang bernama Komisi Persaingan Pengawas Usaha (KPPU) sebagai institusi penegak Undang-Undang No.5/ 1999 sangat dibutuhkan. Selain KPPU pemerintah juga membuat UU RI No.20 tahun 2008 tentang usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai payung hukumnya. Undang-undang ini menjelaskan berbagai aspek dari mulai masalah perizinan usaha hingga pendanaan.
Semoga dengan adanya payung hukum yang  menaungi UMKM tidak ada lagi persaingan yang tidak sehat agar dapat memberikan kesejahteraan baik dari pemerintah swasta maupun pengusaha kecil.